Selasa, Oktober 19, 2010

Risiko merger BUMN Jaminan Sosial

Berikut tulisan Achmad Mochtarom tentang risiko jika empat BUMN jaminan sosial di merger/digabung:

Risiko merger BUMN jaminan sosial - Setiap program asuransi menjanjikan manfaat yang berbeda

OLEH ACHMAD MOCHTAROM Pengajar STIA LAN Jakarta

Empat BUMN yaitu Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes yang menyelenggarakan asuransi dan jaminan sosial pekerja, pegawai negeri sipil (PNS), pejabat negara dan TNI/Polri nyaris dilebur dalam satu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Gertak politik atau bukan, wacana itu telah tertuang dalam RUU BPJS hasil inisiatif DPR dan menunggu hasil kerja Panitia Khusus (Pansus) DPR. Sebelum niat merger empat BUMN tersebut direalisasikan, seharusnya parlemen mengkaji terlebih dahulu historis terbentuknya masing-masing BUMN dan test practice jaminan sosial. Lalu, apa dampak operasional jika empat BUMN tersebut dimerger?

Pada saat ini, empat BUMN penyelenggara jaminan sosial belum diyakini tuntas memvalidasi data peserta. Data peserta asuransi dan jaminan sosial tidak sesederhana di perbankan yang hanya terdiri dari data pribadi dan catatan pembukuan.

Masing-masing penyelenggara jaminan sosial, selain wajib mempunyai data identitas pribadi peserta, mereka juga wajib memelihara data kepegawaian dan keluarga serta catatan transaksi keuangan baik iuran maupun pembayaransantunan.

Belum lagi, ditambah data perusahaan pe serta sebagai pemberi kerja yang betanggung jawab financial, mendaftar kesertaan, setor iuran, dan meng-up-date data serta membantu pengurusan klaim.

Jamsostek diperkirakan mencapai 29 juta peserta tetapi yang aktif hanya sekitar 8,5 juta, sementara itu Taspen mempunyai kisaran 6 juta peserta dan pensiunan. Asabri mengelola data kurang lebih 1,2 juta anggota, dan peserta Askes diperkirakan mencapai 16 juta. Masing-masing mempunyai kepentingan terhadap data karena sebagai dasar penagihan premi dan kontrol pembayaran santunan atau pensiun.

Jamsostek, Taspen, dan Asabri mempunyai kebutuhan jenis data yang serupa sekalipun berbeda kelompok kesertaannya. Jikalau ketiga kelompok peserta ini digabung dan dikelola oleh satu penyelenggara jaminan sosial maka tidak berarti data tersebut akan menjadi lebih ringkas. Sebaliknya, satu lembaga harus mampu mengelola 35 juta data peserta.

Penggabungan data dari kelompok dan item yang beragam, justru akan menyulitkan lembaga tunggal tersebut melakukan konversi, pemeliharaan, dan memvaliditasi data.

Merger data dari empat BUMN itu berpotensi mengalami crash sehingga . dikhawatirkan data menjadi tidak valid. Efek domino dari risiko tersebut, antara lainpenyelenggaraakan kesulitan menagih iurandan membayar santunan ataupensiun karena akurasi datadiragukan.

Teknologi informasi

Sudah dapat dipastikan, keempat BUMN jaminan sosial telah memanfaatkan teknologi informasi dalam pengelolaan data. Hardware dan software yang dipakai mereka tentu akan berbeda disesuaikan dengan kebutuhan, kapasitas dan teknologi yang tepat.

Apabila keempat BUMN tersebut membangun teknologi informasi masing-masing RplO miliar dan telah berjalan dengan baik, dapat diasumsikan saat ini penyelenggaraanjaminan sosial pekeria telah menelan minimal Rp40 miliar. Andaikata merger dilakukan akan terjadi penggabungan pengelolaan data 35 juta record yang tentunya diperlukan teknologi informasi yang sesuai dengan kebutuhan dengankapasitas dan teknologi yang lebih canggih.

Artinya, bukan tidak mungkin merger ini akan mendorong pembelian perangkat akibat pembangunan teknologi informasi yang diharapkan lebih besar kapasitas dan lebih canggih teknologinya. Belajar dari pembangunan teknologi informasi perbankan nasional yang notabene ketinggalan dari Malaysia, beberapa tahun silam diperkirakan mencapai Rp2 triliun. Waktu yang diperlukan untuk konversi teknologi tersebut bisa lebih dari 4 tahun atau jauh lebih lama dari Malaysia yang luasnya lebih kecil.

Mungkinkah BUMN jaminan sosial itu rela membuang teknologi yang telah dibeli, dan gotong royong membeli teknologi untuk mengelola data merger itu?

Bisakah dimengerti semua biaya itu bakal ditanggung peserta karena harus diambil dari kumpulan iuran atau premi peserta. Akibat pembiayaan itu dimungkinkan akan mengurangi dana cadangan dengan konsekuensi tidak terjadikenaikan nilai santunan.

Bukan Tabungan

Program asuransi sosial bagi PNS, pejabat negara, dan TNI-Polri antara lain meliputi tabungan hari tua (THT), pensiun serta asuransi kesehatan. Sejak awal, mereka mempunyai kewajiban membayar iuran dan dijanjikan mendapatkan manfaatnya pada saat berhenti bekerja atau pensiun.

Program tersebut dikelola de ngan pendekatan asuransi, bukan tabungan. Manfaat yang diperoleh adalah manfaat pasti bukan akumulasi iuran ditambah bunga, jika terjadi kekurangan pendanaan pemerintah selaku majikan wajib membayar kekurangan tersebut.

Sementara itu, jaminan hari tua bagi pekerja swasta dikelola dengan metode tabungan, sehingga manfaat yang diterima akumulasi iuran ditambah bunganya. Masing-masing program asuransi atau jaminan sosial tersebut memungut iuran dan menjanjikan manfaat berbeda dengan tingkat risiko dan upah yang berbeda.

Jika dua program jaminan sosial tersebut dimerger, sangat tidak mungkin manfaat pekerja swasta dikonversi atau ditingkatkan sama dengan PNS, pejabat negara dan TNI-Polri. Bila hal itu dilakukan maka pengusaha selaku majikan akan membayar kekurangan pendanaannya.

Demikian juga terhadap jaminan sosial rakyat yang selama ini tidak setor iuran, pemerintah/negara selaku penanggung jawab harus menyediakan dana besar untuk mengejar persamaan manfaat untuk kelompok pekerja.

Mengurangi manfaat pun tidak mungkin dilakukan bagi PNS, pejabat negara dan TNI Polri. Jadi, menyamaratakan san-unan jaminan sosial antara rakyat dan pekerja sangat berisiko dalam pendanaan dan berpotensi timbul konflik kepentingan.

Demikian besar risiko operasional merger, maka sangat bijak bila pemerintah membentuk BPJS tersendiri yang khusus me ngelola jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

[Via]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar