Senin, Juli 04, 2011

RUU BPJS dan Perangkap Neoliberal Oleh Abdul Latif Algaff

Berikut ini adalah tulisan Abdul Latif Algaff, Ketua Fsp BUMN yang dimuat di Harian Suara Karya Tanggal 1 Juli 2011. Semoga tulisan ini membuka hati dan pikiran Pemerintah dan DPR agar lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk menentukan arah Jaminan Sosial di Indonesia.

Agenda neoliberal sudah jelas dan nyata dalam pembahasan rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Karena sejak lama ada perebutan pengaruh antara Bank Dunia (World Bank), Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB), dan lembaga keuangan global lainnya dengan Organisasi Buruh Internasional (ILO).

Lembaga keuangan global ini tentu melihat program jaminan sosial sebagai arena permainan mesin finansial. Sedangkan ILO lebih menjalankan program proteksi sosial-ekonomi terhadap pekerja. Lolosnya konsep dua BPJS yang disodorkan Kementerian Keuangan dan dibahas dalam Panitia Kerja (Panja) RUU BPJS DPR memastikan terlibatnya kekuatan neoliberal dalam merumuskan skenario format masa depan jaminan sosial di Indonesia.

Mungkin pada saat pembahasan RUU BPJS merupakan saat yang tepat dan sudah lama ditunggu oleh antek-antek neoliberal. Tentunya untuk menghancurkan empat BPJS yang ada saat ini, yakni PT Jamsostek (Persero), PT Taspen (Persero), PT Askes (Persero), dan PT Asabri (Persero).

Implementasi UU SJSN yang seharusnya berpijak pada desain program, perluasan cakupan dan mekanisme pembiayaan justeru berujung pada usaha-usaha delegitimasi sistematis terhadap empat BPJS. Secara cerdas, agen neoliberal ini meracuni kaum sosialis dungu yang tidak paham akar sejarah, ideologi dan konteks jaminan sosial, baik paraktek jaminan sosial di level nasional maupun pertarungan ideologis jaminan sosial di tingkat global.

Bagaimana mungkin penyelenggaraan jaminan sosial akan ditarik dari otoritas negara. Padahal kita mengetahui akar historis jaminan sosial justru, karena faktor kegagalan mekanisme pasar (market failure). Bahkan sistem kapitalisme bisa bertahan karena ditopang oleh sistem jaminan sosial yang dapat melindungi buruh dari eksploitasi kaum pemodal.

Namun, mereka yang ingin melaksanakan SJSN mendesak agar negara bertanggung jawab atas pembiayaan jaminan sosial. Tapi, anehnya mereka menuntut agar negara tidak bertanggung jawab dan melepaskan otoritas dalam penyelenggaraannya.
Bayangkan saja, di negara-negara kampiun neoliberal, seperti Amerika Serikat dan Inggris, penyelenggara jaminan sosial tetap di tangan negara. Karena itu, di semua belahan dunia, jaminan sosial merupakan benteng terakhir dari kedaulatan ekonomi politik suatu bangsa.

Tetapi di Indonesia, tampaknya kaum sosialis dungu telah diperdaya kaum neoliberal. Salah satunya, dengan menyediakan proteksi dasar oleh negara melalui cara yang tidak lazim yaitu membongkar empat BPJS ke arah yang tidak jelas. Bahkan, dengan mengabaikan desain program dan pembiayaan yang tidak terjangkau.

Ketika negara telah mengucurkan program jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) - layanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin dan tidak mampu - tapi dinilai salah dan bukan jaminan sosial. Padahal, jaminan sosial itu terdiri dari asuransi sosial dan bantuan sosial, di mana kedua program jaminan sosial ini secara administratif dan finansial dipisahkan.

Saya yakin, perubahan bentuk kelembagaan BPJS hanya lah sasaran antara, tujuan sejatinya adalah hilangnya otoritas negara dalam jaminan sosial. Bahkan, kalau bisa BUMN penyelenggara jaminan sosial itu bisa lepas dan terkapar kemudian dikuasai asing. Seperti Indosat serta BUMN bidang pertambangan, perbankan, telekomunikasi, perkebunan, dan industri strategis lainnya.

Saya hanya ingin mengingatkan bahwa ada sponsor dan donator asing dari kekuatan neoliberal sejak dalam pembuatan UU SJSN. Dan, sesungguhnya sudah puluhan tahun pasar jaminan sosial di Indonesia diincar oleh kekuatan neoliberal. Tentu saja, agen neoliberal itu bertebaran, baik jadi pejabat pemerintah, anggota parlemen, aktivis serikat pekerja, aktivis LSM, intelektual, dan pengusaha.

Dalam kasus RUU BPJS, sangat kelihatan jelas, seorang pejabat Kemenkeu telah menelikung dengan mendikte dan menjadi juru bisik tunggal dalam tim pemerintah. Pemerintah memang sejak awal telah membawa konsep konsultan asing.

Regulasi empat BPJS yang sudah berjalan baik dan terbukti unggul terus dikritik dan dibenturkan dengan status badan hukumnya, harus non-BUMN. Bahkan, mereka tidak malu setiap saat berubah pandangannya. Kemarin bilang wali amanat, hari ini badan hukum publik, dan istilah lainnya. Besok seperti bank sentral, lusa seperti lembaga penjamin simpanan (LPS) dan lembaga penjamin ekspor Indonesia (LPEI).

Padahal, di dunia ini hanya dikenal ada dua bentuk BPJS, yaitu lembaga pemerintah/kementerian atau dikelola secara korporasi. Jadi, status badan hukum BUMN justru sangat tepat dan relevan. Ini karena mengakomodasi dua model penyelenggaraan jaminan sosial dan terbukti melayani peserta dengan baik. Selain itu memberi benefit yang bagus kepada peserta, kinerja dan pengelolaan dana yang berkelanjutan, menjalankan praktik tata kelola yang baik (good governance), dan tidak memberatkan anggaran negara.

Salah satu prinsip dalam pengelolaan dana jaminan sosial adalah bersifat prudent (kehati-hatian) dan menghindari risiko. Pembahasan RUU BPJS malah menjadikan badan hukum BPJS seperti trial and error. Walaupun implementasi UU SJSN harus disinkronkan dan diharmonisasikan terlebih dahulu dengan peraturan perundangan lainnya, tetap saja diabaikan. Bahkan ketika UU SJSN masih terus dikaji ulang ke Mahkamah Konstitusi (MK), agen neoliberal dan kaum sosialis dungu maju terus seakan tak peduli.

Apabila RUU BPJS yang saat ini digodok pemerintah dan DPR bermaksud melebur empat BPJS, pasti menimbulkan gejolak dan dampak sistemik yang luar biasa dalam perekonomian nasional. Ini juga akan mengarah pada ketidakpastian dan ketidakpercayaan publik terhadap BPJS.

Situasi kacau dalam proses transformasi akan dipelihara. Pada saat itu, kekuatan neoliberal akan memberi jalan yang lapang dan leluasa kepada sektor privat berskala global untuk menguasai pasar jaminan sosial yang tidak lagi diurusi negara akibat diterbitkannya UU BPJS.

Kita akan menyaksikan sebuah tragedi reformasi jaminan sosial yang jauh melenceng, seperti yang diamanatkan konstitusi. Kalau boleh mengutip kata-kata Vladimir Putin, mereka yang mau menghancurkan empat BPJS itu tidak punya hati, dan jika pemerintah dan parlemen mau juga menghabisi empat BPJS berarti tidak punya kepala.

Penulis adalah Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara (FSP BUMN)
((Abdul Latif Algaff))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar