Senin, Agustus 30, 2010

SJSN Pro Rakyat Bukan lewat Asuransi

Oleh Salamuddin Daeng

Meskipun telah disahkan sejak tahun 2004, UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tak juga bisa diterapkan.

Latar belakangnya adalah peraturan pemerintah (PP) yang dimandatkan UU ini tidak kunjung terbit. Selain itu, badan pelaksana SJSN juga belum ada. Namun, pemerintah dan DPR saat ini sedang membahas UU Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).

Secara substansial, UU SJSN masih menyisakan masalah. Banyak pihak menolak UU ini karena tidak mencerminkan aspirasi rakyat yang menghendaki kebe¬radaan sistem jaminan sosial yang berpihak pada rakyat, khususnya kaum miskin yang jumlahnya mayoritas. Kelompok ini meliputi peng¬anggur, pekerja sektor informal, pekerja formal yang upahnya rendah, dan buruh tani/petani tak bertanah dan petani kecil. Oleh karena itu, sistem itu harus mengedepankan kepentingan kelompok tersebut.

Data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan, jumlah tenaga kerja dengan status buruh/PNS adalah sebanyak 28,9 juta jiwa dari 104,48 juta jiwa penduduk yang bekerja. Data tersebut membuktikan bahwa sebagian besar tenaga kerja bekerja di sektor informal dengan pendapatan yang rendah dan sangat rentan mengalami krisis.

Selain itu, UU SJSN hanya mencakup kelompok masyarakat yang mampu membayar iuran asuransi sosial. Dengan demikian, hanya sekelompok kecil masyarakat mampu yang dapat memperoleh jaminan sosial, sementara sebagian besar lainnya yang tidak mampu, tidak berhak menda¬pat asuransi sosial yang layak. Padahal, jumlah masyarakat miskin masih sangat besar. Data statistik menyebutkan ,jumlah rakyat miskin di Indonesia mencapai 100 juta lebih. Mereka adalah individu dengan pendapatan di bawah US$ 2/kapita/hari. Kelompok masyarakat ini dipastikan tidak akan mampu membayar iuran asuransi sosial secara terus-menerus.

Masalah lainnya yang tidak kalah penting adalah paradigma dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Semestinya sistem tersebut merupakan tanggung jawab negara yang wajib dilaksanakan. Apalagi, saat ini kondisi perekonomian sedang menghadapi krisis.

Pentingnya Peran Negara

Saat ini, juga muncul perdebatan yang tajam tentang siapakah yang harus menyelenggarakan SJSN. Perdebatan ini tidak hanya menyangkut perdebatan teknis, tetapi jauh lebih dalam pada masalah perdebatan ideo¬logis tentang paradigma ekonomi politik yang dianut suatu negara.

Meskipun penyelenggaraan jaminan sosial tersebut secara tegas telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanu¬siaan,” namun banyak pihak masih berusaha menafsirkan berdasarkan kepentingan masing-masing.

Dalam pandangan ekonomi politik neoliberal, negara tidak boleh ikut campur dalam urusan-urusan ekonomi, atau suatu urusan yang secara ekonomi menjanjikan profit bagi sektor swasta. Dalam pandangan ideologi ini pula, sistem jaminan sosial adalah produk jasa yang dapat diperdagangkan atau diperjualbelikan dan menjanjikan keuntungan yang besar.

Sebaliknya, pandangan antitesis terhadap gagasan neoliberal menganggap bahwa jaminan sosial adalah kewajiban negara. Sektor ini dianggap merupakan sektor strategis karena menyangkut hajat hidup orang banyak, terutama kelompok masyarakat miskin. Jadi, negara bertanggung jawab penuh dalam menyelenggarakan jaminan sosial.

Itulah penyebab banyaknya kelompok masyarakat, khususnya masyarakat miskin, di Indonesia menolak sistem ja¬minan sosial sebagaimana yang diatur dalam UU 40 Tahun 2004. Pasalnya, UU ini dianggap merupakan suatu skenario menyerahkan suatu urusan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara pada perusahaan asuransi. Dengan begitu, UU ini secara substansi merupakan sistem asuransi sosial yang beroperasi lebih mirip perusahaan asuransi.

Meskipun perusahaan asuransi yang rencananya akan ditunjuk negara sekalipun adalah BUMN, tidak ada jaminan fungsi sosialnya dapat dilaksanakan. Ini karena jika dilihat dari orientasi ekonominya, BUMN-BUMN yang dimaksud adalah perusahaan yang berorientasi pada profit yang tidak ubahnya de¬ngan perusahaan swasta lainnya.

Asuransi Asing

UU ini akan menjadi pintu masuk bagi perusahaan asu¬ransi besar dari luar negeri. Dalam sistem ekonomi politik yang sangat liberal seperti Indonesia, sangat memung¬kinkan perusahaan asuransi milik negara dan asuransi nasional akan berpindah ta¬ngan pada pihak asing.

Peluang dominasi asing dikuatkan dengan lahirnya UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), yang kemudian diturunkan dalam Peraturan Presiden No 77 Tahun 2007 tentang Daftar Negatif Investasi, yang isinya telah membuka sektor-sektor strategis bagi penanaman modal asing. Padahal, pe¬nguasaan modal asing dalam sektor asuransi saat ini saja diperkirakan mencapai 95 persen. Kondisi semacam ini dapat menimbulkan masalah tersendiri terkait dengan sistem asuransi sosial yang hendak dikembangkan. Akibatnya, penyelenggaraan asuransi sosial bagi rakyat Indonesia akan jatuh ke ta¬ngan perusahaan-perusahaan asing.

Belajar dari krisis keuang¬an global yang melanda AS dan kemudian menular ke Eropa, Jepang, dan bahkan negara-negara berkembang, ini sebagian besar merupakan akibat ulah perusahaan-perusahaan asuransi. Pengalaman hancurnya perusahaan-perusahaan asu¬ransi AS merupakan fakta bahwa menyerahkan urusan jaminan sosial dan asuransi sosial pada sektor swasta sama sekali bukan hal yang tidak berisiko.

Negara kembali harus menutupi utang-utang perusahaan asuransi dalam jumlah yang sangat besar. Moral hazard yang didukung sistem yang liberal menyebabkan perusahaan-perusahaan asu¬ransi menginvestasikan dana-dana masyarakat dalam kegiatan spekulasi yang sangat berisiko. Untuk itu, saat ini tak ada jalan lain selain negara harus bertanggung jawab me¬ngatasi krisis semacam itu. Jangan sampai perusahan swasta yang telah mengeruk keuntungan yang sangat besar dari bisnis asuransi semakin membenamkan rakyat ke lumpur penderitaan lebih dalam. (Sumber: Sinar Harapan, 26 Agustus 2010)


[Via]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar